Minggu, 18 Desember 2016

REVIEW FILM " The New Rules of The World"



Film The New Rules of The World yang diterbitkan tahun 2002 merupakan karya seorang jurnalis terkemuka dunia berkebangsaan Australia yng bekerja di Inggris bernama John Pilger. Dalam film tersebut John Pilger beserta kru-kru nya bersaha mengungkapsisi sebenarnya Globalisasi.
Globalisasi yang terjadi sebenarnya saat ini adalah Sekelompok kecil orang-orang yang berkuasa ternyata lebih kaya dibandingkan dengan keseluruhan jumlah penduduk dibenua afrika. Hanya dengan 200 perusahaan, seperempat kegiatan ekonomi dunia sudah dapat dikuasai.
Film ini menceritakan penguasa baru dunia, khusus sebuah negara “Indonesia” , Indonesia adalah sebuah negara dimana imperialisme yang baru, sebuah negara yang kaya dengan sumber daya alam yang melimpah, seperti Tembaga dan emas, minyak, kayu, keahlian dan SDM nya. Indonesia pernah dijajah oleh Belanda di abad-16, Kekayaan alam Indonesia dirampas oleh Barat selama beratus-ratus tahun lamanya.
Seorang Environmentalis bernama George Monbiot, Mengatakan Menurut para penganutnya hanya Globalisasi yang mampu menyatukan manusia dari segala ras diseluruh negara dan (Menurut mereka) ia dapat mengurangi kemiskinan, Globalisasi dapat menciptakan kekayaan secara merata. Apa yang sesungguhnya terjadi didepan mata kita adalah justru yang terjadi adalah sebaliknya, yang miskin semakin miskin, Sementara yang kaya menjadi luar biasa kaya.
Di Indonesia, 70 juta orang hidup dalam kondisi teramat miskin. Terdapat kenyataan buruk yang tersembunyi, Sisi dari “Keberhasilan ekonomi” yang tidak diberitakan, seperti tempat tinggal para buruh yang memproduksi merek-merek terkenal yang biasa kita beli dipusat-pusat perbelanjaan. Kehidupan seperti inilah yang harus dijalani demi Sepatu bermerek, Pakaian bagus, dan Celana jeans dengan label “Made In Indonesia”.
Keadaan disini Indonesia tidaklah berbeda dengan keadaan tempat tinggal para pekerja dibelahan dunia (Di Asia, Afrika, Amerika Latin, dimana merek-merek terkenal diproduksi dengan murah, demi keuntungan pasar-pasar di Barat).
Pabrik-pabrik yang tampak modern tapi didalamnya kita akan melihat tampak wajah-wajah mereka (Buruh-buruh) yang kelelahan, Pabrik-pabrik tersebut milik Taiwan dan Korea yang memperkerjakan buruh murah untuk mempoduksi merek terkenal seperti “Nike, Raebok dan Adidas, terlihat sebuah merek terkenal yaitu GAP. Di pabrik tersebut terdapat lebih dari 1000 orang kebanyakan perempuan muda, yang bekerja dalam keadaan penuh sesak dibawah lampu neon bersuhu 40 Derajat Celcius, satu-satunya ruangan ber-AC berada dilantai atas untuk para BOS. Jam kerja para Buruh pun bervariasi dan malah tambah bertambah drastis saat ada pesanan mendadak untuk ekspor.
Salah satu pabrik yang membuat Celana petinju yang dijual di London dengan seharga Rp.112.000, dan dari harga Rp.112.000, seorang buruh Indonesia hanya memperoleh Rp.1500, persis seperti Sepatu Olahrga  yang harganya dijual Rp.1.400.000, dan dari harga Rp.1400.000, seorang buruh Indonesia hanya memperoleh Rp.5000. Mereka para buruh pun terkejut saat mengetahui ternyata dalam satu celana ini dapat menguntungkan perusahaan begitu banyak, apalagi Ribuan celana, Dalam sehari Mereka para buruh harus menghasilkan Minimal 3000 Celana.
Barry Coantes dari Gerakan Pembangunan Dunia mengatakan Hal yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki kondisi masyarakat negara dunia ketiga adalah Pada saat kita berbelanja, tanyalah tokonya “Dibuat dimanakah produk itu?”, “Kondisi kerjanya bagaimana?”, Tulislah surat ke perusahaan dan katakan jika anda ingin kepastian bahwa produk itu berhasil dari pabrik yang memperlakukan para buruhnyag hak buruh membentuk organisasi. Inilah cara yang paling sederhana yaitu bersikap sebagai konsumen yang terinformasi.
Globalisasi diasia memiliki sejarah gelap, Pabrik, Bank-bank besar dan hotel mewah di Indonesia dibangun berkat pembunuhan massal 1 juta manusia, Peristiwa yang lebih suka dilupakan oleh Barat, yang sampai saat ini fakta tragedi itu masih tetap gelap. Setahun setelah peristiwa berdarah itu perekonomian Indonesia dibentuk menurut model Amerika guna mempermudah Barat menguasai sumber media massa Amerika tidak memberitakan tragedi itu sebagai Kejahatan kemanusiaan, tapi demi keuntungan ekonomi barat.  
Departemen Amerika Serikat dikuasai Bank Dunia dan IMF, Dua lembaga ini adalah agen-agen negara-negara terkaya dimuka bumi ini khususnya Amerika Serikat. IMF dan Bank Dunia dibentuk menjelang akhir PD II, untuk membangun kembali perekonomian Eropa, kemudian dua lembaga itu mulai meminjami uang untuk negara miskin, dengan syarat dibiarkan memasuki ekonomi negara tersebut dan perusahaan barat dibolehkan mengolah bahan mentah dan pasar dinegara tersebut.
Seorang penulis “A Fate Worse Than Dept” bernama Dr. Susan George Menjelaskan perbedaan antara Tanzania dan Goldman Sachs, Tanzania adalah sebuah negara yang memiliki tingkat pendapatan nasional sebesar $2,2 Milyar dengan jumlah penduduk 25 juta manusia, dan Goldman Sachs adalah perusahaan penanaman modal yang keuntungannya $2.2 Milyar per tahun dengan rekan bisnis bejrumlah 161, itulah dunia yang kita diami satt ini.
Bank Dunia mengatakan bahwa tujuannya adalah membantu masyarakat miskin dengan mempromosikan “Pembangunan Global”, dengan sistem yang sebenarnya sederhana yaitu “sebuah bentuk Sosialisme bagi si kaya dan Kapitalisme bagi si miskin”. Kaum kaya menjadi luar biasa kaya dari hutang buruh murah dan menghindari pajak, sementara kaum miskin semakin miskin karena pekerjaan dan layanan publik dicabut untuk membayar bunga pinjaman pemerintah kepada Bank Dunia.
Di indonesia yang rakyatnya miskin karena korupsi pejabat kaya sudah terlalu parah. Dokumen internal Bank Dunia membenarkan bahwa sepertiga pinjaman Bank untuk Diktator Soeharto masuk ke kantong kroni dan pejabat korup-nya, Totalnya Rp.80 Trilyun.
Globalisasi berarti odal uang besar yang dapat dipindahkan kemana dan dan kapan saja dengan aman. Tahun 1998, Modal jangka pendek tiba-tiba berpindah keasia dan hanya dala semalam mampu melumpuhkan Ekonomi Asia.
Seiring dengan Krisis Ekonomi, Indonesia nyaris terjadi Revolusi, Soeharto dipaksa mundur setelah puluhan tahun berhasil mencuri uang Rp.150 Trilyun, Setelah lebih dari 30 Tahun Berkuasa, Soeharto membagikan hasil rampasannya untuk keluarga dan kroninya semua jaringan kekuasaan nasional dimiliki mereka, Mulai dari stasiun televisi hingga monopoli angkutan taxi. Bermobil dan bandara Jakarta kita bahkan harus membayar bea jalan tol kepada anak perempuan Soeharto.
Bank digambarkan sebagai agen pembangunan ekonomi yang memfokuskan diri pada pengurangan kemiskinan, sebenarnya Bank yang beroperasi selama perang dingin adalah sebuah lembaga yang mengumpulkan penghasilan rakyat kepada rejim otoriter di negara dunia ketiga yang mendukung Barat dalam perang dingin.
Suatu ironi jika Barat yang selama perang dingin mengklaim memperjuangkan Demokrasi dan membela kebebasan, namun kenyataannya menyokong kediktatoran seperti di Indonesia dan juga diseluruh didunia.
Setiap hari lebih 1 Trilyun Rupiah disetor negara miskin diseluruh dunia ke negara kaya dalam bentuk pembayaran hutang. Keluarga miskin yang harus melunasi hutang besar Indonesia. Baru-baru ini syarat diberikan pinjaman IMF untuk pemerintah adalah pemotongan subsidi minyak, bahan makanan dan listrik.
Seorang Wakil Direktur IMF bernama Stanley Fischer Mengatakan Cara mengurangi kemiskinan bukanlah penghapusan hutang, tetapi kebijakan pemerintahnya sendiri, apakah mereka memberikan pendidikan kepada orang miskin?, apakah kesehatan mereka diperhatikan?, dan kebijakan ekonomi macam apa yang pemerintah coba terapkan?, Apakah pemerintah mengikuti ekonomi dunia atau malah ekonomi korup?, Hal-hal pokok seperti itulah yang menujukan seberapa baikkah negara tersebut. Itulah jawaban terhadap faktor penentu yang bisa menghilangkan kemiskinan. Penghapusan hutang adalah suatu cara agar negara miskin punya pendapatan. Namun yang ingin coba dilihat adalah aliran modal besar kepada negara miskin dan melihat pasar investor terbuka lebar. Hal itulah yang dapat menghilangkan kemiskinan. Pandangan bahwa penghapusan hutang adalah satu-satunya cara yang dapat menghilangkan kemiskinan adalah keliru. Investasi lah yang jusru membantu pemerintah meningkatkan Ekonomi terbuka.
Seorang Environmentalis bernama Dr.Vandana Shiva Mengatakan “Rakyat sudah mengetahui bahwa perusahaan dan para adikuasa makin gencar melakukan propaganda yang tidak benar. Sekarang ini rakyat dapat melihatnya dengan jelas, Rakyat tidak percaya lagi dengan janji-janji dan rakyat mulai tidak simpati. Dan rakyat mulai menyerukan bahwa pemerintahan yang hanya melindungi Pepsi,Coke, dan McDonald bukanlah Pemerintahan untuk rakyat”.


           
           

Selasa, 29 November 2016

Badan Eksekutif

EKSEKUTIF
Eksekutif berasal dari kata eksekusi (execution) yang berarti pelaksana. Lembaga eksekutif adalah lembaga yang ditetapkan untuk menjadi pelaksana dari peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pihak legislatif. Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Eksekutif merupakan pemerintahan dalam arti sempit yang melaksanakan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan haluan negara, untuk mencapai tujuan negara yang telah ditetapkan sebelumnya. Organisasinya adalah kabinet atau dewan menteri dimana masing-masing menteri memimpin departemen dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya.
A.    Beberapa Macam Badan Eksekutif
Dalam mempelajari badan eksekutif di negara-negara demokratis kita melihat adanya dua macam badan eksekutif yaitu menurut system parlementer dan menurut system presidensil. Sekalipun demikian, dalam mengadakan pengelompokan ini, dalam setiap kelompol terdapat beberapa variasi.
1.      System parlementer dengan Parliamentary Executive
Dalam system ini badan eksekutif dan badan legislative bergantung satu sama lain. Kabinet sebagai bagian dari badan eksekutif yang bertanggung jawab diharap mencerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam badan legislative yang mendukungnya dan mati hidupnya kabinet bergantung kepada dukungan dalam badan legislative. Kabinet semacam ini dinamakan kabinet parlementer. Sifat serta bobot ketergantungan ini berbeda dari satu negara dengan negara lain. Akan tetapi umumnya dicoba untuk mencapai semacam keseimbangan antara badan eksekutif dan badan legislative.[1]
2.      Sistem presidensial dengan Fixed Executive atau Non-Parliamentary Executive
Dalam system ini kelangsungan hidup badan legislative, dan badan eksekutif mempunyai masa jabatan tertentu. Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislative mengakibatkan kedudukan badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan legislative. Menteri-menteri dalam kabinet presidensial dapat dipilih menurut kebijaksanaan presiden sendiri tanpa menghiraukan tuntutan-tuntutan partai politik. dengan demikian, pilihan presiden dapat didasarkan atas keahlian serta factor-faktor lain yang dianggap penting. System in terdapat di Amerika Serikat, Pakistan (dalam masa demokrasi dasar 1958-1969) dan di Indonesia di bawah UUD 1945.

B.     Badan Eksekutif di Indonesia
Negara republik indonesia mengenal adanya lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam UUD 1945 dengan melaksanakan pembagian kekuasaan (distribution of power) antara lembaga-lembaga negara. Kekuasaan lembaga-lembaga negara tidaklah di adakan pemisahan yang kaku dan tajam , tetapi ada koordinasi yang satu dengan yang lainnya. Menurut UUD 1945, untuk menjalankan mekanisme pemerintahan di negara Republik Indonesia, maka di dirikan satu lembaga tertinggi negara dan Lima lembaga tertinggi negara yang merupakan komponen yang melaksanakan atau meyelenggarakan kehidupan negara.
Kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden, kalau di Indonesia presiden adalah kepala Negara dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan Negara. Presiden Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik Indonesia) adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari. Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan. Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
Dalam beberapa proses pemilihan anggota badan eksekutif masih ada proses yang dilakukan secara terburu-buru, sehingga tidak memberi waktu yang cukup bagi sosialisasi ke masyarakat tentang track record[2] calon, akibatnya ruang partisipasi publik pun semakin sempit. Satu hal penting dalam proses pemilihan calon anggota eksekutif adalah masih minimnya calon yang memiliki kualitas dan integritas yang baik untuk mendaftarkan diri. Ditambah pula dengan masih banyaknya calon-calon potensial baik di tingkat pusat dan lokal yang enggan untuk memanfaatkan momentum guna memperbaiki lembaga peradilan dari dalam karena sikap pesimistik yang besar. Hal ini menyebabkan semakin sempitnya peluang untuk memilih anggota yang baik, walaupun hal ini tidak terlepas pula dari sistem rekruitmen yang memiliki berbagai kelemahan.


C.     Perkembangan Lembaga Eksekutif
o   Orde Lama
         Orde lama adalah sebutan bagi orde pemerintahan sebelum orde baru yang dianggap tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang ditandai dengan diterapkannya Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Soekarno. Presiden Soekarno sebagai tokoh sentral orde lama adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, bahkan ia bertindak sebagai pemimpin besar revolusi.
·         Demokrasi Parlementer 
Kedudukan lembaga eksekutif sangat dipengaruhi oleh lembaga legislatif. Hal ini terjadi karena lembaga eksekutif bertanggung jawab kepada lembaga legislatif. Dengan demikian, lembaga legislatif memiliki kedudukan yang kuat dalam mengontrol dan mengawasi fungsi dan peranan lembaga eksekutif. Dalam pertanggungjawaban yang diberikan lembaga eksekutif maka para anggota parlemen dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada eksekutif jika tidak melaksanakan kebijakan dengan baik. Apabila mosi tidak percaya diterima parlemen maka lembaga eksekutif harus menyerahkan mandat kepada Presiden.[3]

·         Demokrasi Terpimpin
Peranan lembaga eksekutif  jauh lebih kuat bila dibandingkan dengan peranannya di masa sebelumnya. Peranan dominan lembaga eksekutif tersentralisasi di tangan Presiden Soekarno. Lembaga eksekutif mendominasi sistem politik, dalam arti mendominasi lembaga-lembaga tinggi negara lainnya maupun melakukan pembatasan atas kehidupan politik. Eksekutif bisa membuat undang-undang dan seolah-olah semua terpusat pada lembaga ini. Dalam eksekutif terjadi kesenjangan dimana antara presiden dan jajarannya yang seharusnya memiliki kedudukan yang sejajar, tetapi seolah presiden yang paling memegang kendali. Contoh: pengangkatan presiden seumur hidup. Eksekutif juga mengontrol lembaga peradilan, yang dibuktikan dengan peraturan yang intinya berbunyi bahwa ketika hakim sudah tidak mampu lagi untuk memutuskan suatu perkara maka kewenangan itu di ambil alih oleh presiden
o   Masa Orde Baru
Kedudukan lembaga eksekutif tetap dominan. Dominasi kedudukan eksekutif ini pada awalnya ditujukan untuk kelancaran proses pembangunan ekonomi. Untuk berhasilnya program pem-bangunan tersebut diperlukan stabilitas politik. Eksekutif memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan kedudukan lembaga legislatif maupun yudikatif. Pembatasan jumlah partai politik maupun partisipasi masyarakat ditujukan untuk menopang stabilitas politik untuk pembangunan dan kuatnya kedudukan lembaga eksekutif di bawah Presiden Soeharto.
Dominasi/supremasi kekuasaan eksekutif mendapat legitimasi konstitusionalnya, karena dalam Penjelasan Umum UUD 1945 pada bagian Sistem Pemerintahan Negara Kunci Pokok IV sendiri dinyatakan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di bawah Majelis. Dalam sistem UUD 1945 (sebelum diamandemen), Presiden memiliki beberapa bidang kekuasaan.
Dominasi kekuasaan eksekutif semakin mendapat ruang geraknya ketika penguasa melakukan monopoli penafsiran terhadap pasal 7. Penafsiran ini menimbulkan implikasi yang sangat luas karena menyebabkan Presiden dapat dipilih kembali untuk masa yang tidak terbatas. Begitu besarnya kekuasaan Presiden pada masa orde baru. [4]
Kontrol eksekutif tampak lebih menonjol manakala memperhatikan keleluasaan eksekutif dalam hal membuat regulatory laws sekalipun hanya bertaraf peraturan pelaksanaan, alasan kedua adalah dimana perkembangan politik pada era Orde Baru, kekuatan politik yang berkuasa di jajaran eksekutif ternyata mampu bermanouver dan mendominasi DPR dan MPR, dengan kompromi politik sebagai hasil trade-offsantara berbagai kekuatan polotik. Terlihat dari Pemilihan Umum tahun 1973, dimana 100 dari 360 anggota Dewan adalah anggota yang diangkat dan ditunjuk oleh eksekutif yaitu fraksi ABRI ditunjuk dan diangkat sebagai konsesi tidak ikutnya anggota ABRI dalam menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum. Konstelasi dan kontruksi tersebut dalam abad ke 20 secara sempurna menjadi Government Social Controldan fungsi sebagai Tool of Social Engineering.[5]                
Presiden juga memiliki kewenangan untuk menentukan keanggotaan MPR (pasal 1 ayat 4 huruf c UU No.16 Tahun 1969 jo UU No.2 Tahun 1985). Suatu hal yang sangat tidak pantas dan tidak pas dengan logika demokrasi. Sistem kepartaian yang menguntungkan Golkar, eksistensi ABRI yang lebih sebagai alat penguasa daripada alat negara, DPR dan pemerintah yang dikuasai partai mayoritas menyebabkan DPR menjadi tersubordinasi terhadap pemerintah. Hal ini pula yang menyebabkan fungsi pengawasan terhadap pemerintah (Eksekutif) yang seharusnya dilaksanakan oleh DPR/MPR (legislatif) menjadi tidak efektif.                       
o   Masa Reformasi
Di masa Reformasi yang dimulai dari tumbangnya rezim autoritarian yang dipimpin oleh Soeharto, kedudukan lembaga eksekutif setara dengan lembaga pemerintahan yang lain, yaitu lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Dalam perkembangannya, lembaga eksekutif yang dipimpin oleh presiden tidak menjadi lembaga paling kuat dalam pemerintahan, karena lembaga eksekutif diawasi oleh lembaga legislatif, masyarakat (terutama mahasiswa, ormas, LSM, dan media massa) dalam menjalankan pemerintahan, serta akan ditindaklanjuti oleh lembaga yudikatif jika terjadi pelanggaran, sesuai dengan Undang-Undang. Justru pada masa Reformasi hingga detik ini, lembaga eksekutif selalu bertindak hati-hati dalam menjalankan pemerintahan, jika tidak hati-hati dalam mengambil dan melaksanakan kebijakan, maka lembaga eksekutif akan mendapatkan tekanan dari segala kalangan, baik itu dari lembaga pemerintahan lain maupun kelompok-kelompok kepentingan (NGO), dan terutama dari mahasiswa yang semakin menyadari perannya sebagai agent of control. Rekruitmen anggota lembaga eksekutif ditetapkan berdasarkan hasil pemilu, perjanjian dengan partai koalisi maupun dengan ditunjuk oleh Presiden[6]
Hal yang aneh mengenai kedudukan eksekutif dan legislatif di era Reformasi adalah sistem pemerintahan Indonesia yang sangat dinamis. Sebuah sistem presidensial yang memiliki cita rasa parlementer. Hal ini karena pada beberapa kasus, parlemen atau DPR seringkali menempatkan dirinya seakan-akan dapat menghakimi dan mencabut mandat presiden dengan mosi tidak percayanya. Hal yang sama sekali tidak masuk akal di dalam sistem presidensial. Kewenangan yang melampaui batas inilah seringkali membuat hubungan pemerintah dengan parlemen tidak harmonis.






[1] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik (Edisi Revisi) (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal 295
[2] Track record Artinya, catatan-catatan (sukses) seseorang dari masa lampau sampai sekarang

BANK SENTRAL

BANK SENTRAL
A.    Definisi Bank Sentral
Bank sentral adalah sebuah badan keuangan milik negara yang diberikan tanggung jawab untuk mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga keuangan dan menjamin agar kegiatan badan-badan keuangan tersebut akan menciptakan tingkat kegiatan ekonomi yang stabil.[1]
Bank sentral dapat didefinisikan juga sebagai suatu lembaga negara yang bertugas membantu presiden dalam melaksanakan Kebijaksaaan moneter, sehingga karena itu bank sentral menjalankan tugasnya berdasarkan garis-garis pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Oleh karena itu bank sentral dapat melaksanakan kepengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan monetrer oleh bank-bank dan untuk mengawasi serta memimpin seluruh sistem perbankan.
Di Indonesia, peranan Bank Sentral ini diserahkan kepada Bank Indonesia. Undang- undang yang mengatur tentang Bank Sentral adalah Undang-undang no. 13 Tahun 1968.
B.     Fungsi Bank Sentral
Dengan demikian, pada dasarnya Bank Sentral mempunyai tugas untuk memelihara supaya sistem moneter bekerja secara efisien sehingga dapat menjamin tercapainya tingkat pertumbuhan kredit/uangberedar sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tanpa inflasi. Untuk mencapai sasaran ini Bank Sentral bertanggung jawab atas dua hal yaitu  pertama, perumusan serta pelaksanaan kebijaksanaan moneter. Kedua, mengatur dan mengawasi serta mengendalikan sistem moneter. Berkaitan dengan tanggung jawab kedua ini maka Bank Sentral mempunyai tugas:[2]
1.      Memperlancar lalu-lintas pembayaran sehingga dapat cepat dan efisien. Untuk itu, Bank Sentral harus melakukan dua hal, yaitu, pertama, menciptakan uang kertas .Dengan demikian apabila kebutuhan masyarakat akan uang kas meningkat, Bank Sentral dapat memenuhinya.
2.      Sebagai pemegang kas Pemerintah. Bank _Sentral memegang peranan penting dalam membantu memperlancar kegiatan keuangan (penerimaan dan pembayaran) pemerintah dengan cara:
o   Menerima pembayaran pajak;
o   Membantu  melakukan  pembayaran  pemerintah  (misalnya  dari  pusat  kepada Pemerintah Daerah);
o   Membantu penempatan serta pengedaran surat-surat berharga Pemerintah.
3.      Mengatur dan mengawasi kegiatan bank-bank umum. Hal ini dapat dilakukan dengan memeriksa keuangan, membuat peraturan tentang pendirian serta penggabungan, dan sebagainya.
4.      Melakukan pengumpulan serta analisis data ekonomi nasional dan intemasional.

C.    Sejarah Pembentukan Bank Sentral di Indonesia
Gagasan  pembentukabank  sentral  telah  muncul  sejak  pembahasan  materi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Gagasan tersebut selanjutnya dituangkan dalam Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 tentang Hal Keuangan. Langkah pembentukan bank sentral dimulai dengan Surat Kuasa Soekarno-Hatta tanggal 16 September 1945 kepada R.M. Margono Djojohadikoesoemo untuk mempersiapkan Bank Negara Indonesia (BNI). Tidak lama kemudian, didirikan Jajasan Poesat Bank Indonesia yang berikutnya dilebur ke dalam BNI.  Sebagai  bank  sentral  dalam  masa  revolusi, BNI  tidak  dapat  menjalankan fungsinya secara maksimal. Sementara itu, De Javasche Bank (DJB) yang pernah menjadi bank sirkulasi pada masa Hindia Belanda, kembali membuka cabang- cabangnya  di  wilayah  yang  dikuasai  oleh  NICA  sejak  awal  1946.  Pada  1949 Konferensi Meja Bundar (KMB) telah menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi bagi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan BNI berfungsi sebagai bank umum. Setelah bubarnya RIS pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia (RI) berkeinginan untuk memiliki bank sentral yang independen dan bebas dari kepemilikan asing. Keinginan tersebut difokuskan pada nasionalisasi DJB yang selama ini telah berfungsi sebagai bank sirkulasi meski masih berstatus bank swasta dan didominasi oleh Belanda. Pada 1951,  DJB  dinasionalisasi dan  kepemilikan sahamnya berhasil  diselesaikan oleh Panitia Nasionalisasi. Maka dengan berlakunya UU No. 11/1953 tentang penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953, DJB dirubah namanya menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk RI.[3]

“Sejarah  mencatat bahwa  aktivitas perekonomian dan  keuangan menjadtulang punggung dalam perjalanan suatu bangsa. Dalam hal ini peran bank sentral sangat dibutuhkan sebagai sebuah lembaga yang memang diserahi tugas mengontrol sistem moneter dan perbankan suatu negara yang kebijakannya akan berdampak pada perekonomian.”
Dalam menjalankan tugas tersebut, umumnya bank sentral memiliki wewenang mengedarkan uang, di samping memiliki fungsi dan wewenang mengatur, membina, dan mengawasi kegiatan perbankan. Seperti diketahui, bank merupakan lembaga perantara keuangan. Selain itu, bank sentral berperan pula sebagai sumber terakhir pinjaman bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas, atau dikenal dengan istilah lender of the last resort. Lebih jauh lagi, bank sentral juga mempunyai peran pengendali sistem moneter. Dari fungsi ini, menjadi lebih jelas lagi bahwa bank sentral juga berperan dalam pengembangan sistem perkreditan yang sehat. Sebagai negara yang sedang berusaha bangkit dari kehancuran selama masa penjajahan, para pendiri negara ini pun menyadari bahwa Indonesia memerlukan suatu bank sentral.  Pemikiran  ini  muncul  sejak  pembahasamateri  Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).