Selasa, 29 November 2016

Badan Eksekutif

EKSEKUTIF
Eksekutif berasal dari kata eksekusi (execution) yang berarti pelaksana. Lembaga eksekutif adalah lembaga yang ditetapkan untuk menjadi pelaksana dari peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pihak legislatif. Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Eksekutif merupakan pemerintahan dalam arti sempit yang melaksanakan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan haluan negara, untuk mencapai tujuan negara yang telah ditetapkan sebelumnya. Organisasinya adalah kabinet atau dewan menteri dimana masing-masing menteri memimpin departemen dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya.
A.    Beberapa Macam Badan Eksekutif
Dalam mempelajari badan eksekutif di negara-negara demokratis kita melihat adanya dua macam badan eksekutif yaitu menurut system parlementer dan menurut system presidensil. Sekalipun demikian, dalam mengadakan pengelompokan ini, dalam setiap kelompol terdapat beberapa variasi.
1.      System parlementer dengan Parliamentary Executive
Dalam system ini badan eksekutif dan badan legislative bergantung satu sama lain. Kabinet sebagai bagian dari badan eksekutif yang bertanggung jawab diharap mencerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam badan legislative yang mendukungnya dan mati hidupnya kabinet bergantung kepada dukungan dalam badan legislative. Kabinet semacam ini dinamakan kabinet parlementer. Sifat serta bobot ketergantungan ini berbeda dari satu negara dengan negara lain. Akan tetapi umumnya dicoba untuk mencapai semacam keseimbangan antara badan eksekutif dan badan legislative.[1]
2.      Sistem presidensial dengan Fixed Executive atau Non-Parliamentary Executive
Dalam system ini kelangsungan hidup badan legislative, dan badan eksekutif mempunyai masa jabatan tertentu. Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislative mengakibatkan kedudukan badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan legislative. Menteri-menteri dalam kabinet presidensial dapat dipilih menurut kebijaksanaan presiden sendiri tanpa menghiraukan tuntutan-tuntutan partai politik. dengan demikian, pilihan presiden dapat didasarkan atas keahlian serta factor-faktor lain yang dianggap penting. System in terdapat di Amerika Serikat, Pakistan (dalam masa demokrasi dasar 1958-1969) dan di Indonesia di bawah UUD 1945.

B.     Badan Eksekutif di Indonesia
Negara republik indonesia mengenal adanya lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam UUD 1945 dengan melaksanakan pembagian kekuasaan (distribution of power) antara lembaga-lembaga negara. Kekuasaan lembaga-lembaga negara tidaklah di adakan pemisahan yang kaku dan tajam , tetapi ada koordinasi yang satu dengan yang lainnya. Menurut UUD 1945, untuk menjalankan mekanisme pemerintahan di negara Republik Indonesia, maka di dirikan satu lembaga tertinggi negara dan Lima lembaga tertinggi negara yang merupakan komponen yang melaksanakan atau meyelenggarakan kehidupan negara.
Kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden, kalau di Indonesia presiden adalah kepala Negara dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan Negara. Presiden Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik Indonesia) adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari. Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan. Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
Dalam beberapa proses pemilihan anggota badan eksekutif masih ada proses yang dilakukan secara terburu-buru, sehingga tidak memberi waktu yang cukup bagi sosialisasi ke masyarakat tentang track record[2] calon, akibatnya ruang partisipasi publik pun semakin sempit. Satu hal penting dalam proses pemilihan calon anggota eksekutif adalah masih minimnya calon yang memiliki kualitas dan integritas yang baik untuk mendaftarkan diri. Ditambah pula dengan masih banyaknya calon-calon potensial baik di tingkat pusat dan lokal yang enggan untuk memanfaatkan momentum guna memperbaiki lembaga peradilan dari dalam karena sikap pesimistik yang besar. Hal ini menyebabkan semakin sempitnya peluang untuk memilih anggota yang baik, walaupun hal ini tidak terlepas pula dari sistem rekruitmen yang memiliki berbagai kelemahan.


C.     Perkembangan Lembaga Eksekutif
o   Orde Lama
         Orde lama adalah sebutan bagi orde pemerintahan sebelum orde baru yang dianggap tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang ditandai dengan diterapkannya Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Soekarno. Presiden Soekarno sebagai tokoh sentral orde lama adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, bahkan ia bertindak sebagai pemimpin besar revolusi.
·         Demokrasi Parlementer 
Kedudukan lembaga eksekutif sangat dipengaruhi oleh lembaga legislatif. Hal ini terjadi karena lembaga eksekutif bertanggung jawab kepada lembaga legislatif. Dengan demikian, lembaga legislatif memiliki kedudukan yang kuat dalam mengontrol dan mengawasi fungsi dan peranan lembaga eksekutif. Dalam pertanggungjawaban yang diberikan lembaga eksekutif maka para anggota parlemen dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada eksekutif jika tidak melaksanakan kebijakan dengan baik. Apabila mosi tidak percaya diterima parlemen maka lembaga eksekutif harus menyerahkan mandat kepada Presiden.[3]

·         Demokrasi Terpimpin
Peranan lembaga eksekutif  jauh lebih kuat bila dibandingkan dengan peranannya di masa sebelumnya. Peranan dominan lembaga eksekutif tersentralisasi di tangan Presiden Soekarno. Lembaga eksekutif mendominasi sistem politik, dalam arti mendominasi lembaga-lembaga tinggi negara lainnya maupun melakukan pembatasan atas kehidupan politik. Eksekutif bisa membuat undang-undang dan seolah-olah semua terpusat pada lembaga ini. Dalam eksekutif terjadi kesenjangan dimana antara presiden dan jajarannya yang seharusnya memiliki kedudukan yang sejajar, tetapi seolah presiden yang paling memegang kendali. Contoh: pengangkatan presiden seumur hidup. Eksekutif juga mengontrol lembaga peradilan, yang dibuktikan dengan peraturan yang intinya berbunyi bahwa ketika hakim sudah tidak mampu lagi untuk memutuskan suatu perkara maka kewenangan itu di ambil alih oleh presiden
o   Masa Orde Baru
Kedudukan lembaga eksekutif tetap dominan. Dominasi kedudukan eksekutif ini pada awalnya ditujukan untuk kelancaran proses pembangunan ekonomi. Untuk berhasilnya program pem-bangunan tersebut diperlukan stabilitas politik. Eksekutif memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan kedudukan lembaga legislatif maupun yudikatif. Pembatasan jumlah partai politik maupun partisipasi masyarakat ditujukan untuk menopang stabilitas politik untuk pembangunan dan kuatnya kedudukan lembaga eksekutif di bawah Presiden Soeharto.
Dominasi/supremasi kekuasaan eksekutif mendapat legitimasi konstitusionalnya, karena dalam Penjelasan Umum UUD 1945 pada bagian Sistem Pemerintahan Negara Kunci Pokok IV sendiri dinyatakan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di bawah Majelis. Dalam sistem UUD 1945 (sebelum diamandemen), Presiden memiliki beberapa bidang kekuasaan.
Dominasi kekuasaan eksekutif semakin mendapat ruang geraknya ketika penguasa melakukan monopoli penafsiran terhadap pasal 7. Penafsiran ini menimbulkan implikasi yang sangat luas karena menyebabkan Presiden dapat dipilih kembali untuk masa yang tidak terbatas. Begitu besarnya kekuasaan Presiden pada masa orde baru. [4]
Kontrol eksekutif tampak lebih menonjol manakala memperhatikan keleluasaan eksekutif dalam hal membuat regulatory laws sekalipun hanya bertaraf peraturan pelaksanaan, alasan kedua adalah dimana perkembangan politik pada era Orde Baru, kekuatan politik yang berkuasa di jajaran eksekutif ternyata mampu bermanouver dan mendominasi DPR dan MPR, dengan kompromi politik sebagai hasil trade-offsantara berbagai kekuatan polotik. Terlihat dari Pemilihan Umum tahun 1973, dimana 100 dari 360 anggota Dewan adalah anggota yang diangkat dan ditunjuk oleh eksekutif yaitu fraksi ABRI ditunjuk dan diangkat sebagai konsesi tidak ikutnya anggota ABRI dalam menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum. Konstelasi dan kontruksi tersebut dalam abad ke 20 secara sempurna menjadi Government Social Controldan fungsi sebagai Tool of Social Engineering.[5]                
Presiden juga memiliki kewenangan untuk menentukan keanggotaan MPR (pasal 1 ayat 4 huruf c UU No.16 Tahun 1969 jo UU No.2 Tahun 1985). Suatu hal yang sangat tidak pantas dan tidak pas dengan logika demokrasi. Sistem kepartaian yang menguntungkan Golkar, eksistensi ABRI yang lebih sebagai alat penguasa daripada alat negara, DPR dan pemerintah yang dikuasai partai mayoritas menyebabkan DPR menjadi tersubordinasi terhadap pemerintah. Hal ini pula yang menyebabkan fungsi pengawasan terhadap pemerintah (Eksekutif) yang seharusnya dilaksanakan oleh DPR/MPR (legislatif) menjadi tidak efektif.                       
o   Masa Reformasi
Di masa Reformasi yang dimulai dari tumbangnya rezim autoritarian yang dipimpin oleh Soeharto, kedudukan lembaga eksekutif setara dengan lembaga pemerintahan yang lain, yaitu lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Dalam perkembangannya, lembaga eksekutif yang dipimpin oleh presiden tidak menjadi lembaga paling kuat dalam pemerintahan, karena lembaga eksekutif diawasi oleh lembaga legislatif, masyarakat (terutama mahasiswa, ormas, LSM, dan media massa) dalam menjalankan pemerintahan, serta akan ditindaklanjuti oleh lembaga yudikatif jika terjadi pelanggaran, sesuai dengan Undang-Undang. Justru pada masa Reformasi hingga detik ini, lembaga eksekutif selalu bertindak hati-hati dalam menjalankan pemerintahan, jika tidak hati-hati dalam mengambil dan melaksanakan kebijakan, maka lembaga eksekutif akan mendapatkan tekanan dari segala kalangan, baik itu dari lembaga pemerintahan lain maupun kelompok-kelompok kepentingan (NGO), dan terutama dari mahasiswa yang semakin menyadari perannya sebagai agent of control. Rekruitmen anggota lembaga eksekutif ditetapkan berdasarkan hasil pemilu, perjanjian dengan partai koalisi maupun dengan ditunjuk oleh Presiden[6]
Hal yang aneh mengenai kedudukan eksekutif dan legislatif di era Reformasi adalah sistem pemerintahan Indonesia yang sangat dinamis. Sebuah sistem presidensial yang memiliki cita rasa parlementer. Hal ini karena pada beberapa kasus, parlemen atau DPR seringkali menempatkan dirinya seakan-akan dapat menghakimi dan mencabut mandat presiden dengan mosi tidak percayanya. Hal yang sama sekali tidak masuk akal di dalam sistem presidensial. Kewenangan yang melampaui batas inilah seringkali membuat hubungan pemerintah dengan parlemen tidak harmonis.






[1] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik (Edisi Revisi) (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal 295
[2] Track record Artinya, catatan-catatan (sukses) seseorang dari masa lampau sampai sekarang

BANK SENTRAL

BANK SENTRAL
A.    Definisi Bank Sentral
Bank sentral adalah sebuah badan keuangan milik negara yang diberikan tanggung jawab untuk mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga keuangan dan menjamin agar kegiatan badan-badan keuangan tersebut akan menciptakan tingkat kegiatan ekonomi yang stabil.[1]
Bank sentral dapat didefinisikan juga sebagai suatu lembaga negara yang bertugas membantu presiden dalam melaksanakan Kebijaksaaan moneter, sehingga karena itu bank sentral menjalankan tugasnya berdasarkan garis-garis pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Oleh karena itu bank sentral dapat melaksanakan kepengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan monetrer oleh bank-bank dan untuk mengawasi serta memimpin seluruh sistem perbankan.
Di Indonesia, peranan Bank Sentral ini diserahkan kepada Bank Indonesia. Undang- undang yang mengatur tentang Bank Sentral adalah Undang-undang no. 13 Tahun 1968.
B.     Fungsi Bank Sentral
Dengan demikian, pada dasarnya Bank Sentral mempunyai tugas untuk memelihara supaya sistem moneter bekerja secara efisien sehingga dapat menjamin tercapainya tingkat pertumbuhan kredit/uangberedar sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tanpa inflasi. Untuk mencapai sasaran ini Bank Sentral bertanggung jawab atas dua hal yaitu  pertama, perumusan serta pelaksanaan kebijaksanaan moneter. Kedua, mengatur dan mengawasi serta mengendalikan sistem moneter. Berkaitan dengan tanggung jawab kedua ini maka Bank Sentral mempunyai tugas:[2]
1.      Memperlancar lalu-lintas pembayaran sehingga dapat cepat dan efisien. Untuk itu, Bank Sentral harus melakukan dua hal, yaitu, pertama, menciptakan uang kertas .Dengan demikian apabila kebutuhan masyarakat akan uang kas meningkat, Bank Sentral dapat memenuhinya.
2.      Sebagai pemegang kas Pemerintah. Bank _Sentral memegang peranan penting dalam membantu memperlancar kegiatan keuangan (penerimaan dan pembayaran) pemerintah dengan cara:
o   Menerima pembayaran pajak;
o   Membantu  melakukan  pembayaran  pemerintah  (misalnya  dari  pusat  kepada Pemerintah Daerah);
o   Membantu penempatan serta pengedaran surat-surat berharga Pemerintah.
3.      Mengatur dan mengawasi kegiatan bank-bank umum. Hal ini dapat dilakukan dengan memeriksa keuangan, membuat peraturan tentang pendirian serta penggabungan, dan sebagainya.
4.      Melakukan pengumpulan serta analisis data ekonomi nasional dan intemasional.

C.    Sejarah Pembentukan Bank Sentral di Indonesia
Gagasan  pembentukabank  sentral  telah  muncul  sejak  pembahasan  materi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Gagasan tersebut selanjutnya dituangkan dalam Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 tentang Hal Keuangan. Langkah pembentukan bank sentral dimulai dengan Surat Kuasa Soekarno-Hatta tanggal 16 September 1945 kepada R.M. Margono Djojohadikoesoemo untuk mempersiapkan Bank Negara Indonesia (BNI). Tidak lama kemudian, didirikan Jajasan Poesat Bank Indonesia yang berikutnya dilebur ke dalam BNI.  Sebagai  bank  sentral  dalam  masa  revolusi, BNI  tidak  dapat  menjalankan fungsinya secara maksimal. Sementara itu, De Javasche Bank (DJB) yang pernah menjadi bank sirkulasi pada masa Hindia Belanda, kembali membuka cabang- cabangnya  di  wilayah  yang  dikuasai  oleh  NICA  sejak  awal  1946.  Pada  1949 Konferensi Meja Bundar (KMB) telah menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi bagi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan BNI berfungsi sebagai bank umum. Setelah bubarnya RIS pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia (RI) berkeinginan untuk memiliki bank sentral yang independen dan bebas dari kepemilikan asing. Keinginan tersebut difokuskan pada nasionalisasi DJB yang selama ini telah berfungsi sebagai bank sirkulasi meski masih berstatus bank swasta dan didominasi oleh Belanda. Pada 1951,  DJB  dinasionalisasi dan  kepemilikan sahamnya berhasil  diselesaikan oleh Panitia Nasionalisasi. Maka dengan berlakunya UU No. 11/1953 tentang penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953, DJB dirubah namanya menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk RI.[3]

“Sejarah  mencatat bahwa  aktivitas perekonomian dan  keuangan menjadtulang punggung dalam perjalanan suatu bangsa. Dalam hal ini peran bank sentral sangat dibutuhkan sebagai sebuah lembaga yang memang diserahi tugas mengontrol sistem moneter dan perbankan suatu negara yang kebijakannya akan berdampak pada perekonomian.”
Dalam menjalankan tugas tersebut, umumnya bank sentral memiliki wewenang mengedarkan uang, di samping memiliki fungsi dan wewenang mengatur, membina, dan mengawasi kegiatan perbankan. Seperti diketahui, bank merupakan lembaga perantara keuangan. Selain itu, bank sentral berperan pula sebagai sumber terakhir pinjaman bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas, atau dikenal dengan istilah lender of the last resort. Lebih jauh lagi, bank sentral juga mempunyai peran pengendali sistem moneter. Dari fungsi ini, menjadi lebih jelas lagi bahwa bank sentral juga berperan dalam pengembangan sistem perkreditan yang sehat. Sebagai negara yang sedang berusaha bangkit dari kehancuran selama masa penjajahan, para pendiri negara ini pun menyadari bahwa Indonesia memerlukan suatu bank sentral.  Pemikiran  ini  muncul  sejak  pembahasamateri  Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).