EKSEKUTIF
Eksekutif berasal dari kata eksekusi (execution) yang
berarti pelaksana. Lembaga eksekutif adalah lembaga yang ditetapkan untuk
menjadi pelaksana dari peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh
pihak legislatif. Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif.
Eksekutif merupakan pemerintahan dalam arti sempit yang melaksanakan
pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan haluan negara, untuk mencapai tujuan negara yang telah
ditetapkan sebelumnya. Organisasinya adalah kabinet atau dewan menteri dimana
masing-masing menteri memimpin departemen dalam melaksanakan tugas, wewenang,
dan tanggung jawabnya.
A. Beberapa Macam Badan Eksekutif
Dalam mempelajari
badan eksekutif di negara-negara demokratis kita melihat adanya dua macam badan
eksekutif yaitu menurut system parlementer dan menurut system presidensil.
Sekalipun demikian, dalam mengadakan pengelompokan ini, dalam setiap kelompol
terdapat beberapa variasi.
1. System
parlementer dengan Parliamentary
Executive
Dalam system ini badan
eksekutif dan badan legislative bergantung satu sama lain. Kabinet sebagai
bagian dari badan eksekutif yang bertanggung jawab diharap mencerminkan kekuatan-kekuatan
politik dalam badan legislative yang mendukungnya dan mati hidupnya kabinet
bergantung kepada dukungan dalam badan legislative. Kabinet semacam ini
dinamakan kabinet parlementer. Sifat serta bobot ketergantungan ini berbeda
dari satu negara dengan negara lain. Akan tetapi umumnya dicoba untuk mencapai
semacam keseimbangan antara badan eksekutif dan badan legislative.[1]
2. Sistem
presidensial dengan Fixed Executive
atau Non-Parliamentary Executive
Dalam system ini
kelangsungan hidup badan legislative, dan badan eksekutif mempunyai masa
jabatan tertentu. Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislative
mengakibatkan kedudukan badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan
legislative. Menteri-menteri dalam kabinet presidensial dapat dipilih menurut
kebijaksanaan presiden sendiri tanpa menghiraukan tuntutan-tuntutan partai
politik. dengan demikian, pilihan presiden dapat didasarkan atas keahlian serta
factor-faktor lain yang dianggap penting. System in terdapat di Amerika
Serikat, Pakistan (dalam masa demokrasi dasar 1958-1969) dan di Indonesia di
bawah UUD 1945.
B. Badan
Eksekutif di Indonesia
Negara republik indonesia mengenal
adanya lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam UUD 1945
dengan melaksanakan pembagian kekuasaan (distribution
of power) antara lembaga-lembaga negara. Kekuasaan lembaga-lembaga negara
tidaklah di adakan pemisahan yang kaku dan tajam , tetapi ada koordinasi yang
satu dengan yang lainnya. Menurut UUD 1945, untuk menjalankan mekanisme
pemerintahan di negara Republik Indonesia, maka di dirikan satu lembaga
tertinggi negara dan Lima lembaga tertinggi negara yang merupakan komponen yang
melaksanakan atau meyelenggarakan kehidupan negara.
Kekuasaan eksekutif
berada di tangan presiden, kalau di Indonesia presiden adalah kepala Negara dan
sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Presiden adalah pemegang kekuasaan
pemerintahan Negara. Presiden Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik
Indonesia) adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai
kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai
kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri
dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan sehari-hari. Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu
kali masa jabatan.
Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 6A,
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat melalui Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
Dalam beberapa proses pemilihan anggota badan eksekutif
masih ada proses yang dilakukan secara terburu-buru, sehingga tidak memberi
waktu yang cukup bagi sosialisasi ke masyarakat tentang track record[2]
calon, akibatnya ruang partisipasi publik pun semakin sempit. Satu hal penting
dalam proses pemilihan calon anggota eksekutif adalah masih minimnya calon yang
memiliki kualitas dan integritas yang baik untuk mendaftarkan diri. Ditambah
pula dengan masih banyaknya calon-calon potensial baik di tingkat pusat dan
lokal yang enggan untuk memanfaatkan momentum guna memperbaiki lembaga
peradilan dari dalam karena sikap pesimistik yang besar. Hal ini menyebabkan
semakin sempitnya peluang untuk memilih anggota yang baik, walaupun hal ini
tidak terlepas pula dari sistem rekruitmen yang memiliki berbagai kelemahan.
C. Perkembangan Lembaga Eksekutif
o
Orde
Lama
Orde
lama adalah sebutan bagi orde pemerintahan sebelum orde baru yang dianggap
tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang
ditandai dengan diterapkannya Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan
Soekarno. Presiden Soekarno sebagai tokoh sentral orde lama adalah Kepala
Negara dan Kepala Pemerintahan, bahkan ia bertindak sebagai pemimpin besar
revolusi.
·
Demokrasi Parlementer
Kedudukan lembaga eksekutif
sangat dipengaruhi oleh lembaga legislatif. Hal ini terjadi karena lembaga
eksekutif bertanggung jawab kepada lembaga legislatif. Dengan demikian, lembaga
legislatif memiliki kedudukan yang kuat dalam mengontrol dan mengawasi fungsi
dan peranan lembaga eksekutif. Dalam pertanggungjawaban yang diberikan lembaga
eksekutif maka para anggota parlemen dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada
eksekutif jika tidak melaksanakan kebijakan dengan baik. Apabila mosi tidak
percaya diterima parlemen maka lembaga eksekutif harus menyerahkan mandat
kepada Presiden.[3]
·
Demokrasi Terpimpin
Peranan lembaga
eksekutif jauh lebih kuat bila dibandingkan dengan peranannya di
masa sebelumnya. Peranan dominan lembaga eksekutif tersentralisasi di tangan
Presiden Soekarno. Lembaga eksekutif mendominasi sistem politik, dalam arti
mendominasi lembaga-lembaga tinggi negara lainnya maupun melakukan pembatasan
atas kehidupan politik. Eksekutif bisa membuat undang-undang dan seolah-olah
semua terpusat pada lembaga ini. Dalam eksekutif terjadi kesenjangan dimana
antara presiden dan jajarannya yang seharusnya memiliki kedudukan yang sejajar,
tetapi seolah presiden yang paling memegang kendali. Contoh: pengangkatan presiden seumur hidup. Eksekutif juga mengontrol lembaga
peradilan, yang dibuktikan dengan peraturan yang intinya berbunyi bahwa ketika
hakim sudah tidak mampu lagi untuk memutuskan suatu perkara maka kewenangan itu
di ambil alih oleh presiden
o Masa Orde Baru
Kedudukan lembaga eksekutif tetap dominan.
Dominasi kedudukan eksekutif ini pada awalnya ditujukan untuk kelancaran proses
pembangunan ekonomi. Untuk berhasilnya program pem-bangunan tersebut diperlukan
stabilitas politik. Eksekutif memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan
dengan kedudukan lembaga legislatif maupun yudikatif. Pembatasan jumlah partai
politik maupun partisipasi masyarakat ditujukan untuk menopang stabilitas
politik untuk pembangunan dan kuatnya kedudukan lembaga eksekutif di bawah
Presiden Soeharto.
Dominasi/supremasi kekuasaan eksekutif mendapat
legitimasi konstitusionalnya, karena dalam Penjelasan Umum UUD 1945 pada bagian
Sistem Pemerintahan Negara Kunci Pokok IV sendiri dinyatakan bahwa Presiden
adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di bawah Majelis. Dalam sistem
UUD 1945 (sebelum diamandemen), Presiden memiliki beberapa bidang kekuasaan.
Dominasi kekuasaan eksekutif semakin mendapat
ruang geraknya ketika penguasa melakukan monopoli penafsiran terhadap pasal 7.
Penafsiran ini menimbulkan implikasi yang sangat luas karena menyebabkan
Presiden dapat dipilih kembali untuk masa yang tidak terbatas. Begitu besarnya
kekuasaan Presiden pada masa orde baru. [4]
Kontrol eksekutif tampak lebih menonjol
manakala memperhatikan keleluasaan eksekutif dalam hal membuat regulatory laws sekalipun hanya bertaraf peraturan
pelaksanaan, alasan kedua adalah dimana perkembangan politik pada era Orde
Baru, kekuatan politik yang berkuasa di jajaran eksekutif ternyata mampu
bermanouver dan mendominasi DPR dan MPR, dengan kompromi politik sebagai hasil trade-offsantara
berbagai kekuatan polotik. Terlihat dari Pemilihan Umum tahun 1973, dimana 100
dari 360 anggota Dewan adalah anggota yang diangkat dan ditunjuk oleh eksekutif
yaitu fraksi ABRI ditunjuk dan diangkat sebagai konsesi tidak ikutnya anggota
ABRI dalam menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum. Konstelasi dan
kontruksi tersebut dalam abad ke 20 secara sempurna menjadi Government Social Controldan
fungsi sebagai Tool of Social Engineering.[5]
Presiden juga memiliki kewenangan untuk
menentukan keanggotaan MPR (pasal 1 ayat 4 huruf c UU No.16 Tahun 1969 jo UU
No.2 Tahun 1985). Suatu hal yang sangat tidak pantas dan tidak pas dengan
logika demokrasi. Sistem kepartaian yang menguntungkan Golkar, eksistensi ABRI
yang lebih sebagai alat penguasa daripada alat negara, DPR dan pemerintah yang
dikuasai partai mayoritas menyebabkan DPR menjadi tersubordinasi terhadap
pemerintah. Hal ini pula yang menyebabkan fungsi pengawasan terhadap pemerintah
(Eksekutif) yang seharusnya dilaksanakan oleh DPR/MPR (legislatif) menjadi
tidak efektif.
o
Masa
Reformasi
Di masa Reformasi yang dimulai dari tumbangnya rezim autoritarian yang
dipimpin oleh Soeharto, kedudukan lembaga eksekutif setara dengan lembaga
pemerintahan yang lain, yaitu lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Dalam
perkembangannya, lembaga eksekutif yang dipimpin oleh presiden tidak menjadi
lembaga paling kuat dalam pemerintahan, karena lembaga eksekutif diawasi oleh
lembaga legislatif, masyarakat (terutama mahasiswa, ormas, LSM, dan media
massa) dalam menjalankan pemerintahan, serta akan ditindaklanjuti oleh lembaga
yudikatif jika terjadi pelanggaran, sesuai dengan Undang-Undang. Justru pada
masa Reformasi hingga detik ini, lembaga eksekutif selalu bertindak hati-hati
dalam menjalankan pemerintahan, jika tidak hati-hati dalam mengambil dan
melaksanakan kebijakan, maka lembaga eksekutif akan mendapatkan tekanan dari
segala kalangan, baik itu dari lembaga pemerintahan lain maupun
kelompok-kelompok kepentingan (NGO), dan terutama dari mahasiswa yang semakin
menyadari perannya sebagai agent of control. Rekruitmen anggota lembaga eksekutif
ditetapkan berdasarkan hasil pemilu, perjanjian dengan partai koalisi maupun
dengan ditunjuk oleh Presiden[6]
Hal yang aneh mengenai kedudukan
eksekutif dan legislatif di era Reformasi adalah sistem pemerintahan Indonesia
yang sangat dinamis. Sebuah sistem presidensial yang memiliki cita rasa
parlementer. Hal ini karena pada beberapa kasus, parlemen atau DPR seringkali
menempatkan dirinya seakan-akan dapat menghakimi dan mencabut mandat presiden
dengan mosi tidak percayanya. Hal yang sama sekali tidak masuk akal di dalam sistem
presidensial. Kewenangan yang melampaui batas inilah seringkali membuat
hubungan pemerintah dengan parlemen tidak harmonis.
[1] Miriam Budiardjo,
Dasar-dasar ilmu politik (Edisi Revisi) (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2008),
hal 295
[3]http://retorics.blogspot.co.id/2015/02/lembaga-eksekutif-dari-orde-lama-hingga-era-reformasi.html
diakses 27 November 2016 pukul 04.09 am
[4] http://djunedglow.blogspot.co.id/2011/12/eksekutif-dan-legislatif-orde-lama-baru.html
diakses 26 November pukul 04.12 am
[5]http://retorics.blogspot.co.id/2015/02/lembaga-eksekutif-dari-orde-lama-hingga-era-reformasi.html
diakses 26 November 2016 pukul 04.44 am
[6] http://retorics.blogspot.co.id/2015/02/lembaga-eksekutif-dari-orde-lama-hingga-era-reformasi.html
diakses tanggal 26 November 2016 pukul 04.50
am