Minggu, 26 Maret 2017

PERAN BAWASLU DALAM MENGAWAL INTEGRITAS PEMILU



Pemilu
o   Sarana partisipasi politik masyarakat: menjadi  pemilih atau menjadi kandidat (representasi politik).
o   Mekanisme agregasi tuntutan dan kepentingan serta penyerapan aspirasi
o   Saluran kepentingan publik: mendapatkan posisi dalam lembaga pembuat kebijakan.
o   Mekanisme penggantian pemimpin.
o   Tata cara pelaksanaan dan metode pemilihan umum dituliskan dalam aturan formal (Konstitusi, Undang-Undang, dll)
PEMILU DAN DEMOKRASI












Rounded Rectangle: Semua negara demokrasi pasti menyelenggarakan Pemilu, 
tapi tidak semua Pemilu berlangsung demokratis

 















Penyelenggara Pemilu
o   Pemilu 1999
Perwakilan Pemerintah, perwakilan partai politik peserta pemilu, serta anggota independen.
o   Pemilu 2004
Anggotanya dipilih melalui proses pemilihan dan DPR yang menyeleksi serta menentukan hasil akhir nama-nama anggota KPU.

o   Pemilu 2009
Anggotanya dipilih melalui proses pemilihan dan DPR yang menyeleksi serta menentukan hasil akhir nama-nama anggota KPU.

o   Pemilu 2014
Anggotanya dipilih melalui proses pemilihan dan DPR yang menyeleksi serta menentukan hasil akhir nama-nama anggota KPU.

Sistem Pemilu
o   Pemilu 1999
Sistem proporsional dengan daftar calon tertutup

o   Pemilu 2004
Sistem proporsional daftar calon terbuka

o   Pemilu 2009
Sistem proporsional daftar calon terbuka

o   Pemilu 2014
Sistem proporsional daftar calon terbuka

Daerah Pemilihan
o   Pemilu 1999
Wilayah administratif (provinsi, kabupaten dan kota)

o   Pemilu 2004
§  Penetapan dapil oleh KPU
§  Dapil DPR : provinsi atau bagian-bagian provinsi
§  Dapil DPRD Provinsi : kabupaten/kota
§  Dapil DPRD Kabupaten/Kota: kecamatan

o   Pemilu 2009
§  Penetapan dapil DPR RI oleh DPR RI  (dlm UU)
§  Dapil DPR : provinsi atau bagian-bagian dari provinsi
§  Dapil DPRD Provinsi : kabupaten/kota
§  Dapil DPRD Kab./Kota : kecamatan

o   Pemilu 2014
§  Penetapan dapil DPR RI oleh anggota DPR RI (dalam UU Pemilu)
§  Dapil DPR adalah provinsi atau bagian-bagiannya
§  Dapil DPRD Provinsi adalah kabupaten/kota
§  Dapil DPRD Kabupaten/Kota adalah kecamatan

Metode Pemberian Suara
o   Pemilu 1999
Mencoblos lambang partai

o   Pemilu 2004
Mencoblos nama dan / atau lambang partai

o   Pemilu 2009
Memberi tanda satu kali pada nama partai atau lambang partai atau nama calon

o   Pemilu 2014
Mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik atau nama calon

Metode Penghitungan Suara
o   Pemilu 1999
§  Hasil di TPS
§  Agregasi di PPS, PPK, KPU Kabupaten / Kota,  KPU Provinsi dan KPU Nasional
§  Stembus Accord (penggabungan suara beberapa parpol yang suaranya kurang / kecil untuk mendapatkan 1 kursi).

o   Pemilu 2004
§  Hasil di TPS
§  Agregasi di PPS, PPK, KPU Kabupaten / Kota, KPU Provinsi dan KPU Nasional kursi)

o   Pemilu 2009
§  Hasil di TPS
§  Agregasi di PPK, KPU Kabupaten / Kota, KPU Provinsi dan KPU Nasional
§  Penerapan 2,5% Parliamentary Threshold (ambang batas perolehan suara partai politik untuk diikutkan dalam pembagian kursi)

o   Pemilu 2014
§  Hasil di TPS
§  Agregasi di PPS, PPK, KPU Kabupaten / Kota, KPU Provinsi dan KPU Nasional
§  Penerapan 3,5% Parliamentary Threshold (ambang batas perolehan suara partai politik untuk diikutkan dalam

Tegaknya integritas penyelenggara, penyelenggaraan, dan hasil pemilu melalui pengawasan pemilu yang berintegritas dan berkredibilitas akan mewujudkan pemilu yang demokratis.

Rounded Rectangle: Pengawasan Pemilu adalah kegiatan mengamati, mengkaji, memeriksa, dan menilai proses penyelenggaraan Pemilu sesuai peraturan perundang-undangan. 
(Perbawaslu No. 2 Tahun 2015,
Pasal 1, Angka 29)
TUJUAN PENGAWASAN PEMILU

Ø  Memastikan terselenggaranya Pemilu secara luber, jurdil dan berkualitas sesuai peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu
Ø  Mewujudkan Pemilu yang demokratis
Ø  Menegakkan integritas, kredibilitas penyelenggara, transparansi penyelenggaraan, dan akuntabilitas hasil Pemilu

KEWENANGAN BAWASLU RI
 









JENIS PELANGGARAN PEMILU

         Pelanggaran Kode Etik
         Pelanggaran Pidana Pemilu
         Pelanggaran Administrasi

PENGAWAS PEMILU

menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 UU 10/2016 yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif
















Flowchart: Alternate Process: Dalam UU No. 10 Tahun 2016
Pemeriksaan harus dilakukan secara terbuka dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan






Reserved: Transparansi dan Integritas Penyelenggara Pemilu harus dikedepankan untuk mempertanggung-jawabkan proses dan hasil Pemilu guna mewujudkan Pemilu Yang Demokratis

Flowchart: Alternate Process: Kewenangan Pengawasan Pemilu










Flowchart: Alternate Process: Transparansi
          +
   Integritas

 














Minggu, 05 Maret 2017

PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP SISTEM POLITIK



Pengaruh dari lingkungan terhadap sistem politik adalah :
A. Pendekatan Perilaku
Salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku adalah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat untuk memperlajari perilaku (behavior) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar diamati. Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan saja, tetapi dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok elite, gerakan nasional, atau suatu masyarakat politik (polity).
Pendekatan perilaku menampilkan suatu ciri khas yang revolusioner yaitu suatu orientasi kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu politik. Orientasi ini mencakup beberapa konsep pokok, yang oleh David Easton (1962) dan Albert Somit (1967), diuraikan sebagai berikut:
  1. Perilaku politik menampilkan keteraturan (regularities) yang perlu dirimuskan sebagai generalisasi-generalisasi yang kemudian dibuktikan atau diverifikasi kebenarannya. Proses verifikasi ini dilakukan melalui pengumpulan dan analisis data yang dapat diukur atau dikuantifikasikan antara lain melalui statistik dan matematika.
  2. Harus ada usaha membedakan secara jelas antara norma (ideal atau standar sebagai pedoman atau perilaku) dan fakta ( sesuatu yang dapat dibuktikan berdasarkan pengamatan dan pengalaman).
  3. Analisis politik tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi si peneliti, setiap analisis harus bebas-nilai (value-free), sebab benar/tidaknya nilai-nilai seperti misalnya demokrasi, persamaan, kebebasan, tidak dapat diukur secara ilmiah.
  4.  Penelitian harus sistematis dan menuju pembentukan teori (theory building).
  5. Ilmu politik harus bersifat murni (pure science), kajian terapan untuk  mencari penyelesaian masalah (problem solving) dan menyusun rencana perbaikan perlu dihindarkan. akan tetapi ilmu politik harus terbuka bagi dan terintegrasi dengan ilmu-ilmu lainnya.
Salah satu ciri khas pendekatan perilaku ini ialah pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan negara sebagai suatu sistem sosial yang menjadi subsistem dan sistem sosial. Dalam suatu sistem, bagian-bagiannya saling berinteraksi, saling bergantungan, dan semua bagian bekerja sama untuk menunjang terselenggaranya sistem itu. Sistem mengalami stress dari lingkungan, tetapi berusaha mengatasinya dengan memelihara keseimbangan. Dengan demikian sistem dapat bertahan (persist).
Salah satu pelopor Pendekatan perilaku ini adalah Gabriel Abraham Almond, disamping sarjana seperti David Easton, Karl Deutsch, Robert Dahl, dan David Apter. Gabriel Almond berpendapat bahwa semua sistem mempunyai struktur (institusi atau lembaga), dan unsur-unsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Fungsi ini bergantung pada sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungsi lainnya. Konsep ini sering disebut pandangan structural-fuctional.
 Sistem politik menyelenggarakan dua fungsi, yaitu fungsi masukan (input) dan keluaran (output). kedunya terpengaruh oleh sifat dan kecenderungan para aktor politik. menurut Almond ada lebih dari empat fungsi input dan tiga fungsi output. input ialah sosialisasi politik dan rekrutmen, artikulasi kepentingan, himpunan kepentingan (interest aggregation), dan komunisasi politik. Kemudian dalam perkembangannya Almond mengubah istilahnya menjadi tiga fungsi, yakni fungsi kapasitas (capacity function), fungsi konversi dan pemeliharaan (conversion and maintenance function), dan fungsi adaptasi (adaptation function). Sementara itu, komunikasi dianggap sebagai cara untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi itu. Sedangkan ada tiga fungsi output, yaitu membuat peraturan (rule-making), mengaplikasikan peraturan (rule-aplication), dan memutuskan (secara hukum) peraturan (rule-adjudication). Konsep ini dijabarkan lagi oleh David Easton (1965) khusus sistem politik melalui analisis sistem. A System Analysis of Political Life.
Ia mengutarakan bahwa dalam suatu sistem politik (atau negara) selalu ada suatu aliran (flow) terus menerus dari input ke output dan bolak balik. Input terdiri atas tuntutan dan dan dukungan yang berasal dari lingkungan. Sistem politik yang terdiri dari pembuat keputusan dan aktor-aktor politik lainnya, menerima input ini dan mempertimbangkan reaksi terhadap kebijakan-kebijakannya. Informasi tadi dikonversikan dalam suatu black box yang terdiri dari intitusi-institusi politik dan menghasilkan output dalam bentuk peraturan serta keputusan otoritatif. Output ini kembali lagi ke lingkungan melalu suatu lingkaran umpan balik (feedback loop) dan ini menjadi input baru bagi sistem politik. Selalu terjadi suatu proses mencari keseimbangan (equilibrium). proses ini terus berlanjut dan sistem politik dapat bertahan (persist), melalui suatu proses yang dinamis. Di kemudian hari, David Easton mengaku bahwa pemerintah tidak hanya menerima desakan dari luar, tetapi juga dari sistem itu sendiri yang dinamakan with input, misalnya desakan dari partai politik atau departemen kabinet.
  •  Kritik terhadap Pendekatan Perilaku
Dalam perkembangannya pendekatan perilaku pun tidak luput dari kritik yang datang dari berbagai pihak, antara lain dari kalangan tradisionalis, kemudian dari dari kalangan penganut pendekatan perilaku sendiri, dan juga dari para Neo-Marxis. Menurut kalangan tradisionalis, mereka yang berada dibalik pendekatan perilaku tidak mengusahakn mencari jawaban atas pertanyaan yang mengandung nilai, seperti apakah sistem politik demokrasi yang baik, atau bagaimana membangun masyarakat yang adil, dan sebagainya.
juga dilontarkan kritik bahwa Pendekatan Perilaku tidak mempunyai relevansi dengan realitas politik dan terlalu banyak memusatkan perhatian pada masalah yang kurang penting, seperti survei mengenai perilaku pemilih, sikap politik, dan pendapat umum. Lagipula pendekatan ini tidak peduli atau buta terhadap masalah-masalah sosial yang gawat seperti konflik dan petentangan-pertentangan pada saat itu yang mengguncangkan masyarakat. Dengan demikian mereka telah mengorbankan relevansi untuk tercapainya kecermatan yang stereil.
Perbedaan antara tradionalis dengan para behavioralis dapat disimpulkan sebagai berikut. jika para tradsionalis menkankan nilai-nilai dan norma-norma, maka para behavioralis menekankan fakta. jika para tradisionalis menekankan segi filsafat, maka para behavioralis menekankan penelitian empiris. jika para tradisionalis memperjuangkan ilmu yang bersifat terapan , maka para behavioralis memperjuangkan perlunya ilmu bersifat murni. jika para tradisionalis menonjolkan aspek historis-yuridis, maka para behavioralis mengutamakan aspek sosiologis-psikologis, jika para tradisionalis memilih metode kualitaif, maka para behavioralis lebih mementingkan metode kuantitatif.
pada tahun 1960-an, kritik juga tumbuh dikalangan behavioralis sendiri. Sejumlah kalangan behavioralis menyadari bahwa mereka gagal mengatasi keresahan yang ditimbulkan oleh perang Vietnam. Maka dari itu, gerakan Pasca-Perilaku ini malahan mencanangkan perlunya relevansi dan tindakan (relevance and action). Gerakan ini tidak menolak Pendekatan perilaku seluruhnya, hanya mengecam skala prioritasnya. Akan tetapi ia mendukung sepenuhnya Pendekatan Perilaku mengenai perlunya meningkatkan mutu ilmiah ilmu politik.
Kesimpulan, disatu pihak, kecaman para penganut Pendekatan Pasca-Perilaku dalam beberapa aspek mirip dengan kritik yang dilontarkan oleh sarjana tradisionalis. Perbedaanya adalah bahwa para tradisionalis ingin mempertahankan hal-hal yang lama, sedangkan kalangan pasca-perilaku melihat ke masa depan (future-oriented). selain dari itu, para penganut Pendekatan Pasca-Perilaku juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Marxis, seperti Harbert marcuse (1989-1979) dan Jean-Paul Sartre (1905-1980). 
Sumber :
Budiardjo, Miriam, 2008.Dasar-Dasar Ilmu Politik . Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.