Pengaruh dari lingkungan terhadap sistem politik adalah :
A. Pendekatan Perilaku
Salah satu pemikiran pokok dari
pendekatan perilaku adalah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga
formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi informasi mengenai
proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat untuk memperlajari
perilaku (behavior) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar diamati.
Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan saja,
tetapi dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar seperti
organisasi kemasyarakatan, kelompok elite, gerakan nasional, atau suatu
masyarakat politik (polity).
Pendekatan perilaku menampilkan
suatu ciri khas yang revolusioner yaitu suatu orientasi kuat untuk lebih
mengilmiahkan ilmu politik. Orientasi ini mencakup beberapa konsep pokok, yang
oleh David Easton (1962) dan Albert Somit (1967), diuraikan sebagai berikut:
- Perilaku politik menampilkan keteraturan (regularities) yang perlu dirimuskan sebagai generalisasi-generalisasi yang kemudian dibuktikan atau diverifikasi kebenarannya. Proses verifikasi ini dilakukan melalui pengumpulan dan analisis data yang dapat diukur atau dikuantifikasikan antara lain melalui statistik dan matematika.
- Harus ada usaha membedakan secara jelas antara norma (ideal atau standar sebagai pedoman atau perilaku) dan fakta ( sesuatu yang dapat dibuktikan berdasarkan pengamatan dan pengalaman).
- Analisis politik tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi si peneliti, setiap analisis harus bebas-nilai (value-free), sebab benar/tidaknya nilai-nilai seperti misalnya demokrasi, persamaan, kebebasan, tidak dapat diukur secara ilmiah.
- Penelitian harus sistematis dan menuju pembentukan teori (theory building).
- Ilmu politik harus bersifat murni (pure science), kajian terapan untuk mencari penyelesaian masalah (problem solving) dan menyusun rencana perbaikan perlu dihindarkan. akan tetapi ilmu politik harus terbuka bagi dan terintegrasi dengan ilmu-ilmu lainnya.
Salah satu ciri khas pendekatan
perilaku ini ialah pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu
sistem sosial, dan negara sebagai suatu sistem sosial yang menjadi subsistem
dan sistem sosial. Dalam suatu sistem, bagian-bagiannya saling berinteraksi,
saling bergantungan, dan semua bagian bekerja sama untuk menunjang
terselenggaranya sistem itu. Sistem mengalami stress dari lingkungan,
tetapi berusaha mengatasinya dengan memelihara keseimbangan. Dengan demikian
sistem dapat bertahan (persist).
Salah satu pelopor Pendekatan
perilaku ini adalah Gabriel Abraham Almond, disamping sarjana seperti David
Easton, Karl Deutsch, Robert Dahl, dan David Apter. Gabriel Almond berpendapat
bahwa semua sistem mempunyai struktur (institusi atau lembaga), dan unsur-unsur
dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Fungsi ini bergantung pada
sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungsi lainnya. Konsep ini sering
disebut pandangan structural-fuctional.
Sistem
politik menyelenggarakan dua fungsi, yaitu fungsi masukan (input) dan keluaran
(output). kedunya terpengaruh oleh sifat dan kecenderungan para aktor politik.
menurut Almond ada lebih dari empat fungsi input dan tiga fungsi output. input
ialah sosialisasi politik dan rekrutmen, artikulasi kepentingan, himpunan
kepentingan (interest aggregation), dan komunisasi politik. Kemudian dalam
perkembangannya Almond mengubah istilahnya menjadi tiga fungsi, yakni fungsi
kapasitas (capacity function), fungsi konversi dan pemeliharaan (conversion and
maintenance function), dan fungsi adaptasi (adaptation function). Sementara
itu, komunikasi dianggap sebagai cara untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi itu.
Sedangkan ada tiga fungsi output, yaitu membuat peraturan (rule-making),
mengaplikasikan peraturan (rule-aplication), dan memutuskan (secara hukum)
peraturan (rule-adjudication). Konsep ini dijabarkan lagi oleh David Easton
(1965) khusus sistem politik melalui analisis sistem. A System Analysis of
Political Life.
Ia mengutarakan bahwa dalam suatu
sistem politik (atau negara) selalu ada suatu aliran (flow) terus menerus dari
input ke output dan bolak balik. Input terdiri atas tuntutan dan dan dukungan
yang berasal dari lingkungan. Sistem politik yang terdiri dari pembuat
keputusan dan aktor-aktor politik lainnya, menerima input ini dan
mempertimbangkan reaksi terhadap kebijakan-kebijakannya. Informasi tadi
dikonversikan dalam suatu black box yang terdiri dari intitusi-institusi
politik dan menghasilkan output dalam bentuk peraturan serta keputusan
otoritatif. Output ini kembali lagi ke lingkungan melalu suatu lingkaran umpan
balik (feedback loop) dan ini menjadi input baru bagi sistem politik. Selalu
terjadi suatu proses mencari keseimbangan (equilibrium). proses ini terus
berlanjut dan sistem politik dapat bertahan (persist), melalui suatu proses
yang dinamis. Di kemudian hari, David Easton mengaku bahwa pemerintah tidak
hanya menerima desakan dari luar, tetapi juga dari sistem itu sendiri yang
dinamakan with input, misalnya desakan dari partai politik atau
departemen kabinet.
- Kritik terhadap Pendekatan Perilaku
Dalam perkembangannya pendekatan
perilaku pun tidak luput dari kritik yang datang dari berbagai pihak, antara
lain dari kalangan tradisionalis, kemudian dari dari kalangan penganut
pendekatan perilaku sendiri, dan juga dari para Neo-Marxis. Menurut kalangan
tradisionalis, mereka yang berada dibalik pendekatan perilaku tidak mengusahakn
mencari jawaban atas pertanyaan yang mengandung nilai, seperti apakah sistem politik
demokrasi yang baik, atau bagaimana membangun masyarakat yang adil, dan
sebagainya.
juga dilontarkan kritik bahwa
Pendekatan Perilaku tidak mempunyai relevansi dengan realitas politik dan
terlalu banyak memusatkan perhatian pada masalah yang kurang penting, seperti
survei mengenai perilaku pemilih, sikap politik, dan pendapat umum. Lagipula
pendekatan ini tidak peduli atau buta terhadap masalah-masalah sosial yang
gawat seperti konflik dan petentangan-pertentangan pada saat itu yang
mengguncangkan masyarakat. Dengan demikian mereka telah mengorbankan relevansi
untuk tercapainya kecermatan yang stereil.
Perbedaan antara tradionalis dengan
para behavioralis dapat disimpulkan sebagai berikut. jika para tradsionalis
menkankan nilai-nilai dan norma-norma, maka para behavioralis menekankan fakta.
jika para tradisionalis menekankan segi filsafat, maka para behavioralis
menekankan penelitian empiris. jika para tradisionalis memperjuangkan ilmu yang
bersifat terapan , maka para behavioralis memperjuangkan perlunya ilmu bersifat
murni. jika para tradisionalis menonjolkan aspek historis-yuridis, maka para
behavioralis mengutamakan aspek sosiologis-psikologis, jika para tradisionalis
memilih metode kualitaif, maka para behavioralis lebih mementingkan metode
kuantitatif.
pada tahun 1960-an, kritik juga
tumbuh dikalangan behavioralis sendiri. Sejumlah kalangan behavioralis
menyadari bahwa mereka gagal mengatasi keresahan yang ditimbulkan oleh perang
Vietnam. Maka dari itu, gerakan Pasca-Perilaku ini malahan mencanangkan
perlunya relevansi dan tindakan (relevance and action). Gerakan ini tidak
menolak Pendekatan perilaku seluruhnya, hanya mengecam skala prioritasnya. Akan
tetapi ia mendukung sepenuhnya Pendekatan Perilaku mengenai perlunya
meningkatkan mutu ilmiah ilmu politik.
Kesimpulan, disatu pihak, kecaman
para penganut Pendekatan Pasca-Perilaku dalam beberapa aspek mirip dengan
kritik yang dilontarkan oleh sarjana tradisionalis. Perbedaanya adalah bahwa
para tradisionalis ingin mempertahankan hal-hal yang lama, sedangkan kalangan
pasca-perilaku melihat ke masa depan (future-oriented). selain dari itu, para
penganut Pendekatan Pasca-Perilaku juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
tokoh-tokoh Marxis, seperti Harbert marcuse (1989-1979) dan Jean-Paul Sartre
(1905-1980).
Sumber :
Budiardjo, Miriam, 2008.Dasar-Dasar Ilmu Politik
. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar